9.08.2012 0 komentar

Wong gunung? Ra Urusan!

Ramadhan sudah meninggalkan kita, bulan syawal pun segera menyambut dengan sayur opor yang sudah siap santap dalam panci. Rasa suka cita menyelimuti dibalik kesedihan yang masih terasa karena ramadhan yang semakin menjauh. Keluarga besar berkumpul, bercanda, berbagi pengalaman hingga sesuatu yang berbau materi pun juga tak luput menjadi objek yang dibagikan. Silaturahmi kesana kemari sudah nampak dimana-mana. Ya, mungkin seperti itulah gambaran tentang hari raya idul fitri yang baru saja aku alami. Rasa suka cita, senyuman, rekreasi, serta cerita-cerita konyol menghiasi hari-hariku selama kurang lebih sepekan. 

Saat itu hari selasa. Hari ke 2 setelah lebaran. Matahari mulai menunjukkan wujudnya. Hawa dingin masih menusuk ke dalam tulang. Aku ambil air wudhu untuk menjalankan ibadah sholat shubuh yang biasa aku kerjakan. Bacaan demi bacaan aku baca, gerekan demi gerakan aku lakukan. Hingga selesailah aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Dari lantai bawah, terdengar suara ibu yang memanggil namalu. Secara reflek, aku bergegas meninggalkan kamar dan turun menghampiri ibuku yang berada di bawah. Beliau menanyakan tentang agenda keluargaku hari ini yang rencananya akan berwisata ke Goa Pindul. Namun, tak kusangka ibuku tadi meminta izin untuk tidak mengikuti acara tersebut. Karena kantornya yang sudah beroperasi. Hatiku merasa kecewa. Tapi emang begitulah resiko mempunyai ibu sebagai PNS. Aku pun kembali melanjutkan tidur di kamarku yang berada di lantai atas hingga panas matahari mulai terasa. 

Ketika asyik berselancar di alam mimpi, terdengar suara telepon genggamku tanda pesan baru masuk. Aku segera bangun dan membaca pesan yang datang. Dengan mata yang masi kabur, aku melihat nama teman baikku yang mengirim pesan itu. Seperti biasa, dia membalas pesanku semalam yang belum sempat dia balas karena matanya yang sudah tidak bisa dibuka lagi. Setelah itu, aku bangun dan mandi lalu sarapan. Sembari menunggu bapakku yang masih bersiap, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi walaupun hanya sebentar. Tak sampai setengah jam setelah itu, bapakku memanggilku untu mengajakku beserta kakak dan adikku untuk menuju ke rumah nenekku yang tak jauh dari rumah. 

Sesampainya di sana, sepupu-sepupuku sudah berkumpul di rumah. Tapi ternyata, saudar-saudaraku yang lain belum bersiap-siap. Sehinggaakupun melanjutkan acara menonton televisi ku di sana. Sesekali aku melihat telepon genggamku apakah teman baikku itu membalas pesanku atau belum. Waktu terus berjalan hingga jam kini menunjukkan pukul 10.00. Sauda-saudaraku sudah bersiapuntuk berangkat. Aku mencoba menanyakan ibukku apakah beliau benar-benar tidak jadi ikut. Dan setelah adikku menelepon beliau, ternyata beliau bisa ikut karena beliau mengajukan izin acara keluarga. Beberapa menit kemudian, ibukku datang. Dan segeralah kami berangkat ke tempat tujuan. 

Di jalan, kami bercanda, bercerita dengan semua yang ada di mobil. Tapi di mobilku, tidak ada anak kecil. Sehingga suasana tidak terlalu ramai. Mungkin yang membuat ramai hanya obrolan ala ibu-ibu yang seakan seperti kereta api. Ketika sampai di sekitar Piyungan, volume kendaraan mulai meningkat dan akhirnya berujung kemacetan sebelum naik menuju ke Gunung Kidul. Namun kemacetan itu hanya bertahan sekitar 10 sampai 15 menit dan jalan kembali lancar hingga perjalanan pun sampai di sebuah masjid yang katanya tidak jauh dari lokasi Goa tersebut.Kami beristirahat sejenak sambil melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan sehingga kami sampai di tempat tujuan.

Kendaraan padat, kerumunan oran di mana-mana. Mungkin seperti itulah gambaran keadaan yang terjadi saat itu. memang sangat ramai suasana di sana. Dan kami tidak beruntung. tak ada lagi lahan parkir yang bisa kami tempati hingga kami menemukan sebuah gang yang sempit.Secara spontan, kami pun memakirkan 2 mobil yang kami bawa di sana. Keluar dari mobil, kami sedikit berfoto-foto di sana. Kami mencba mencari tempat untuk makan siang. tapi tak ada tempat yang cocok yang bisa kami tempati untuk makan. Dari kejauhan, nampak sekelompok warga yang terlihat memandangi kami. Awalnya kami mengira mereka akan mengusir kami karena telah parkir sembarangan. Mereka semakin mendekat dan ada seorang warga mendekat. Ternyata mereka menawarkan rumah mereka sebagai tempat beristirahat. Karena mereka tahu pasti kami merasa lelah sehingga butuh tempat beristirahat.Setelah beberapa saat dan dengan malu-malu, kami menerima tawaran mereka. walaupun sempat sungkan dan merepotkan. 

Di rumah tersebut, kami beristirahat, makan, dan mengobrol dengan sang tuan rumah. Kami diperlakukan layaknya kerabat dekat mereka. Padahal kami bukanlah siapa-siapa mereka. Kami baru pertama kali bertemu di sana. Dan yang membuatku terkesan adalah sifat mereka yang masih sangat ramah. Seakan-akan kami adalah kerabat dekat mereka yang sudah sangat sering bermain di sana. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan kami ke Goa Pindul. Di sana sungainya sangat jernih.sehingga enjadikan suatu pemandangan tersendiri. Kami menyusuri tempat itu selama setengah jam. Lalu kami melanjutkan petualangan kami di Sungai Oyo. Pemandangan di sana seperti Great Canyon di Indonesia walaupun ukurannya jauh lebih kecil. Puas berjalan-jalan, kami kembali ke basecamp di rumah warga tadi. Di sna, senyuman hangat sang tuan rumah masih terpancar dari raut wajahnya. Hingga kami berpamitan untuk kembali ke habitat kami di Bantul.

Dari pengalamanku berekreasi di tempat itu, memang objek wisata di sana sangat mengasyikkan. Tapi bagiku, aa hal lain yang lebih menarik yang bisa dijadikan sebuah pelajaran berharga bagi kita semua dalam bermasyarakat. Di mana warga sana sangat terbuka dengan kedatangan orang asing yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka menerima, menjamu, dan memperlakukan orang asing itu seperti kerabat dekatnya sendiri yang tiap hari datang untuk menjenguknya. Hal lain yang sangat istimewa adalah mereka sama sekali tidak meminta timbal balik. Mereka tidak meminta uang sepeserpun. Mereka ikhlas menolong tanpa pamrih. Suatu keadaan yang sangat jarang kita temui dimana autis sosial sudah menjamur dimana-mana. Mungkin mereka memang orang di daerah terpencil yang akses menuju ke daerahnya saja masih relatif sulit. Namun dibalik kesulitan menembus terjalnya medan batu kapur tersebut terdapat sebuah harta yang sangat bernilai. Di mana ada sekelompok masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai gotong-royong yang seakan hampir punah di era globalisasi ini. 
 
;