11.14.2013 0 komentar

Kolong Jembatan, 14 November 2012

Malam itu, hujan rintik mewarnai suasana Kota Jogja yang diselimuti oleh hawa dingin dan terkadang menggigit hingga ke tulang. Malam itu terasa sangat panjang lantaran esok adalah hari libur. Sehingga pada malam itu kita bebas pergi bersama. Ada sesuatu yang sedikit spesial memang tentang malam itu. Saat itu, aku pertama kalinya memakai pakaian "sopan" ketika menghabiskan malam bersamamu. Mengapa? Tentu engkau mengetahui sendiri karena pada hari tersebut adalah hari ulangtahunmu. Ya, aku ingin sedikit berbeda di hari yang mungkin kau anggap itu spesial. Aku berusaha menanggalkan gaya urakanku dan menyisir rambut demi ikut berbahagia menikmati malam yang hanya setahun sekali kita rayakan. 

Dimulai dari sebuah rumah makan, kita berdua ditemani oleh beberapa sahabat yang memang menjadi geng, mulai bercenkrama di tempat itu. Bercanda, bercerita, menanyakan hal-hal ringan yang menyibukkan kita semua menunggu perputaran waktu. Boneka, cokelat, makanan dan minuman turut meramaikan malam itu. Semua mungkin terlihat sempurna dengan kedatangan teman-teman dekat yang memang sudah lama menjadi bagian sebuah keluarga fiksi ini. Mulai bosan dengan tempat makan itu, kita mencoba untuk mencari tempat yang lebih nyaman untuk sekedar berkumpul dan bercerita. Lalu pilihan pun jatuh di Taman Lampion. Sayang sekali, cuaca yang sama sekali tidak mendukung membuyarkan niat kita yang rencananya ingin menikmati malam di sana untuk pertama kalinya. Masih ingat ketika kita terjebak hujan yang memaksa kita untuk berteduh? Oh mungkin sekarang ingatanmu sudah dikotori oleh bahasa kedokteran yang berbau mayat. Saat itu kita berteduh di sebuah emperan toko dengan hawa dingin yang menusuk dengan kejamnya. Membuang waktu tanpa arti hanya demi satu harapan. Hujan yang mereda. Sedikit mulai terlihat ada tanda-tanda rusaknya malam itu. Hujan yang tak kunjung reda, dibarengi dengan dia-dia ang tak kunjung datang padahal sedang menerima amanah. Masih ingat siapa dia? Aku yakin kamu pasti masih ingat tentang hal begituan. hahaha. Rintik-rintik air perlahan meninggalkan kita. Menandakan perjalanan yang akan berlanjut. Namun tiba-tiba saja terbesit pikiran untuk menuju ke Movie Box. Entah ide konyol siapa itu aku tak tahu. 

Mungkin malam itu bukanlah malam yang sempurna. Kita tidak ditakdirkan untuk menikmati hari ulangtahunmu di tempat yang layak. Aku ingat sekali ketika movie box penuh, kemudian kita mencoba ke Hyperbox untuk pertama kalinya dan langsung kena jackpot habis 200ribu. Pasti yang ini kamu tidak ingat karena kamu tidak pernah memeriksa kantong dan dompetmu. Dan ketika keluar dari Hyperbox itulah kue yang sudah akan dingin tadi dikeluarkan. Ritual dilaksanakan di depan Hyperbox hingga kita waktu itu harus berbagi kue bersama  pihak keamanan di sana. Namun apa daya, kami tetap harus memaksakan menghabiskan kue itu. Di tengah kebingungan karena waktu yang sudah menunjukkan pukul 23.sekian, aku berpikir di mana aku harus memberikan hadiah ulangtahun yang daritadi sudah bergetar-getar tertutup pakaian kotor yang akan kubawa pulang. Berpikir, berpikir, dan berpikir di mana kita harus duduk berdua, di jam yang sudah menunjukkan angka kritis tersebut kemudian memberikan kado ulangtahun pertama yang kuberikan kepada seorang wanita. Bahkan ibuku sendiri pun tak pernah aku berikan kado karena kebetulan ulangtahunmu bertepatan dengan ulang tahun ibuku.

Akhirnya, ilham pun turun dari langit. Membawa sebuah wahyu yang menunjukkan kolong jembatan di daerah Janti yang memang cukup nyaman untuk sekedar duduk bersila dan memberikan hadiah sembari menghabiskan kue ulangtahun yang ternyata masih sisa itu. Masih ingatkah kamu apa saja yang waktu itu aku katakan? Semoga saja aku tidak menemukan ingatanmu itu ditempat sampah. Ya, aku membacakan dua buah puisi produk lokal. Puisi yang aku ciptakan sendiri beberapa hari sebelum hari H ulangtahunmu. Meski terlihat sedikit nmengacau, tapi paling tidak sihir dari puisi itu masih mengakar kuat dalam tubuhmu hingga saat ini. Dan apakah kamu masih ingat apa yang waktu itu aku berikan padamu? Aku yakin sekali kamu masih ingat dengan jam itu. Ya, jam yang di dalamnya tertulis empat bait kalimat-kalimat bullshit yang kuharap bisa senantiasa menjaga semangatmu hingga nanti. Bila dibandingkan dengan hadiah-hadiah mewah lainnya, itu memang sama sekali tidak berkelas. Karena jam yang harganya hanya sekitar 40ribu. Tapi paling tidak itu bisa berguna dalam hidupmu. Jam yang bisa menjadi pengingat ketika kau lalai, jam yang bisa menjagamu ketika kau lelap. Dan aku yakin, jam pemberianku akan menyisihkan semua barang-barang di meja tidurmu. 

Tahun ini, aku sama sekali belum bisa menemukan lubang cacing yang kuharap bisa membawaku sampai ke Banjarmasin. Aku belum mempunyai cukup nyali dan dana untuk menyogok maskapai penerbangan supaya mau mengantarkanku ke sana. Dan aku juga mulai menyadari bahwa ternyata banyak di negeri ini yang lebih membutuhkanku jauh daripada dirimu. Sehingga hanya inilah yang bisa kuberikan. Kenangan manis tepat setahun lalu. Tepat di mana kamu menginjak usia 18tahun. Tak terasa memang sekarang bagian dari kehidupanmu sudah hilang lagi di makan waktu. Aku hanya bisa berharap, di usiamu yang sudah menginjak 19tahun ini, engkau bisa lebih dewasa, lebih lancar untuk menggapai cita-citamu menjadi seorang dokter, dan aku masih sangat ingin kamu menjaga janji kita di pantai beberapa bulan setelah itu. Di saat deburan ombak, dan putihnya pasir menjadi saksi akan janji kita saat itu.

SELAMAT ULANG TAHUN SABILA ROSYIDA, 
SEMOGA ENGKAU DIMUDAHKAN DALAM MENCAPAI CITA-CITAMU




Asrama Mahasiswa UI, 14 November 2013



Kurniagung Nur Cahyono
11.13.2013 0 komentar

Pemimpin Itu Sakral

Mereka yang seharusnya menggerakkan warga. Mereka yang sudah sepatutnya memberi contoh kepada masyarakat. Mereka yang selayaknya mengayomi kita. Mereka yang seharusnya membuka jalan inovasi untuk kehidupan yang lebih baik. Dan merekalah yang dengan kebijaksanaan dan ketegasannya menciptakan keadilan di atas muka bumi ini. Begitulah seklumit opiniku yang setidaknya bisa menggambarkan kriteria seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang bisa benar-benar menjadi pemimpin. Mungkin tidak akan sempurna tanpa kesalahan. Tetapi paling tidak dia bisa meminimalisir kesalahan yang dia perbuat. Sehingga dengan kapabilitasnya, ia bisa menghadirkan sebuah dunia baru yang paling tidak bisa mendekati Negeri Utopia.

Kita refleksikan sedikit semua itu dengan kondisi kita sekarang. Kondisi pemimpin kita yang dipilih secara demokrasi, sesuai pilihan rakyat dan apalah itu namanya. Tanpa mengurangi rasa hormat dan tunduk saya terhadap ulil amri saat ini, kita bisa melihat sendiri angka-angka pertumbuhan ekonomi yang sangat tidak sesuai dengan realitas. Mungkinkah angka itu dimanipulasi? Bisa saja. Atau mungkinkah angka itu menunjukkan jurang antara si kaya dan si miskin? Mungkin saja. Tapi bagaimanapun juga, beginilah kondisi kita saat ini. Berita yang penuh sesak oleh korupsi dan kriminalitas, kawasan kumuh yang lebih layak disebut tempat sampah, pemuda yang dididik hanya untuk menjadi tenaga rendahan, dan masih banyak sekali problem yang menggunung di negeri yang luas ini.Apakah ini hasil reformasi dan demokrasi yang katanya membawa kemaslahatan bagi negeri ini? Mungkin saja iya. Kita masih saja terlena dengan euforia kebebasan yang digembor-gemborkan atas nama hak asasi manusia. Sampai-sampai terlalu dijiwainya sebuah kebebasan itu, hingga terkadang kita lupa akan dua hal. Hak orang lain, dan hak tuhan untuk disembah. Kita terbuai dengan angan-angan panjang menjadi ini dan itu yang untuk mendapatkannya kita harus bersaing dan menjatuhkan orang lain. Bahkan, kekuasaan pun tak luput dari lingkaran kompetisi!

Bagi saya pribadi, kepemimpinan adalah ssesuatu yang sakral. Dia harus bisa menyelesaikan setumpuk problem dalam dan luar negeri, meningkatkan kesejahteraan umat yang dipimpinnya, dan memberikan sebuah barang langka yang biasa kita sebut keadilan. Saking sakralnya posisi tersebut, membuat kita rela menyediakan fasilitas lebih bagi sang pemimpin. Sehingga beliau bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal. Namun bagaimana kenyataannya pada saat ini? Sepertinya ke-sakral-an itu sudah tergerus dengan pemikiran filosofis bernama demokrasi. Di mana kepemimpinan sekarang menjadi sebuah ajang kompetisi lima tahunan bagi mereka yang sudah mencapai kondisi financial freedom dan mencoba untuk mengaktualisasikan diri dengan kedok 'mengabdi kepada negara'. Kini posisi sakral tersebut bisa diperebutkan dengan sebuah pertaruangan sengit bernama Pemilu. Dengan pemilu tersebut mereka-mereka yang merasa mampu menduduki posisi itu bebas menajukan diri hanya bermodalkan tumpukan KTP yang menandakan dukungan pemilik KTP terhadap sang calon tadi. Begitulah praktik demokrasi. Dengan menjual janji-janji manis, mereka berlomba-lomba untuk bisa membeli rakyat sebanyak-banyaknya. Masalah janji apakah akan direalisasikan, itu menjadi urusan belakang. Saya sedikit bingung dengan sistem seperti ini yang jelas menyamakan semua suara. Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap seluruh lapisan masyarakat, menurut saya akan lebih bijak ketika yang memiliki hak suara adalah mereka-mereka yang mempunyai dasar-dasar ilmu yang kuat, orang-orang yang memiliki ahli dibidang masing-masing, dan perwakilan dari berbagai kelompok. Sehingga paling tidak pemimpin tersebut bisa mengakomodir semua elemen di masyarakat dan memiliki ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam memimpin. KArena jelas sekali berbeda bobotnya ketika seorang yang tak tahu apa-apa dan minim pengetahuan memilih seseorang dengan orang-orang berilmu yang memilih. Secara logika tentu mereka-mereka yang berilmu lebih mempunyai alasan kuat dan mengetahui latar belakang sang calon pemmpin. Sedangkan orang yang belum berilmu tadi hanya memilih berdasarkan apa yang ia lihat secara kasat mata tanpa adanya pengetahuan yang lebih mendalam.

Kita lihat sedikit ke alam realitas. Faktanya, mereka sendiri yang memiliki ilmu justru mempunyai sisi yang kosong. Yakni moral dan spiritualitas. Sehingga ketika sistem ini yang dipakai, akan sangat rawan untuk diterapkan. Karena pasti ada kemungkinan yang besar terjadinya praktek suap-menyuap. Ditambah lagi minimnya kepercayaan masyarakat akan mereka yang notabene merupakan orang-orang berilmu. Lalu bagaimana solusinya? Tentu dengan ketatnya pengawasan hukum dibarengi dengan penanaman nilai spiritualitas dan moral agar kesadaran untuk jujur itu bisa tumbuh dan menjadikan mereka menjadi teladan sesungguhnya bagi masyarakat yang sedang mencari panutan. Sehingga anomie yang sudah berlarut-larut ini bisa cepat berakhir. Saya sebagai seorang muslim tenntu sangat terkagum-kagum mengenai keberhasilan sistem ini ketika diterapkan pada zaman Khulafa'ur Rosyidin dan masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Di mana negara tersebut adalah negara muslim, maka ulama lah yang ikut berperan dalam memilih pemimpin tersebut. Banyak buku yang sudah melukiskan betapa indahnya negara tersebut. Bahkan dikisahkan pada zaman Umar Bin Abdul Aziz, pemerintah kebingungan bagaimana mereka menyalurkan zakatnya. Karena saat itu sudah tidak ada lagi yang berhak mendapatkan zakat tersebut.

Menurut saya sendiri, demokrasi hanya bisa diterapkan di sebuah negara yang tingkat pendidikannya tingi. Entah dari sisi disiplin ilmu, ataupun dari sisi spiritualitas dan moralitas. Sehingga masyarakat sendiri bisa lebih kritis  dalam menentukan sebuah pilihan. Mereka memilih bukan hanya dari apa yang ia lihat dengan mata telanjang. Lebih dari itu mereka bisa menganalisa dan memberi penilaian dan akhirnya memilih sesuai penilaian mereka. Bahasa gampangnya, tidak mudah dibohongi. Karena Filsuf Yunani kuno semacam Aristoteles dan Plato pun sudah mengingatkan akan bahayanya sistem demokrasi. Yakni pertimbangan untuk memilih yang bukan merupakan pertimbangan inti. Dan itulah kondisi yang sedang dialami oleh negeri ini yang menurut saya membuat negeri ini belum siap menerapkan sistem demokrasi itu sendri. 
9.08.2012 0 komentar

Wong gunung? Ra Urusan!

Ramadhan sudah meninggalkan kita, bulan syawal pun segera menyambut dengan sayur opor yang sudah siap santap dalam panci. Rasa suka cita menyelimuti dibalik kesedihan yang masih terasa karena ramadhan yang semakin menjauh. Keluarga besar berkumpul, bercanda, berbagi pengalaman hingga sesuatu yang berbau materi pun juga tak luput menjadi objek yang dibagikan. Silaturahmi kesana kemari sudah nampak dimana-mana. Ya, mungkin seperti itulah gambaran tentang hari raya idul fitri yang baru saja aku alami. Rasa suka cita, senyuman, rekreasi, serta cerita-cerita konyol menghiasi hari-hariku selama kurang lebih sepekan. 

Saat itu hari selasa. Hari ke 2 setelah lebaran. Matahari mulai menunjukkan wujudnya. Hawa dingin masih menusuk ke dalam tulang. Aku ambil air wudhu untuk menjalankan ibadah sholat shubuh yang biasa aku kerjakan. Bacaan demi bacaan aku baca, gerekan demi gerakan aku lakukan. Hingga selesailah aku menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Dari lantai bawah, terdengar suara ibu yang memanggil namalu. Secara reflek, aku bergegas meninggalkan kamar dan turun menghampiri ibuku yang berada di bawah. Beliau menanyakan tentang agenda keluargaku hari ini yang rencananya akan berwisata ke Goa Pindul. Namun, tak kusangka ibuku tadi meminta izin untuk tidak mengikuti acara tersebut. Karena kantornya yang sudah beroperasi. Hatiku merasa kecewa. Tapi emang begitulah resiko mempunyai ibu sebagai PNS. Aku pun kembali melanjutkan tidur di kamarku yang berada di lantai atas hingga panas matahari mulai terasa. 

Ketika asyik berselancar di alam mimpi, terdengar suara telepon genggamku tanda pesan baru masuk. Aku segera bangun dan membaca pesan yang datang. Dengan mata yang masi kabur, aku melihat nama teman baikku yang mengirim pesan itu. Seperti biasa, dia membalas pesanku semalam yang belum sempat dia balas karena matanya yang sudah tidak bisa dibuka lagi. Setelah itu, aku bangun dan mandi lalu sarapan. Sembari menunggu bapakku yang masih bersiap, aku menyempatkan diri untuk menonton televisi walaupun hanya sebentar. Tak sampai setengah jam setelah itu, bapakku memanggilku untu mengajakku beserta kakak dan adikku untuk menuju ke rumah nenekku yang tak jauh dari rumah. 

Sesampainya di sana, sepupu-sepupuku sudah berkumpul di rumah. Tapi ternyata, saudar-saudaraku yang lain belum bersiap-siap. Sehinggaakupun melanjutkan acara menonton televisi ku di sana. Sesekali aku melihat telepon genggamku apakah teman baikku itu membalas pesanku atau belum. Waktu terus berjalan hingga jam kini menunjukkan pukul 10.00. Sauda-saudaraku sudah bersiapuntuk berangkat. Aku mencoba menanyakan ibukku apakah beliau benar-benar tidak jadi ikut. Dan setelah adikku menelepon beliau, ternyata beliau bisa ikut karena beliau mengajukan izin acara keluarga. Beberapa menit kemudian, ibukku datang. Dan segeralah kami berangkat ke tempat tujuan. 

Di jalan, kami bercanda, bercerita dengan semua yang ada di mobil. Tapi di mobilku, tidak ada anak kecil. Sehingga suasana tidak terlalu ramai. Mungkin yang membuat ramai hanya obrolan ala ibu-ibu yang seakan seperti kereta api. Ketika sampai di sekitar Piyungan, volume kendaraan mulai meningkat dan akhirnya berujung kemacetan sebelum naik menuju ke Gunung Kidul. Namun kemacetan itu hanya bertahan sekitar 10 sampai 15 menit dan jalan kembali lancar hingga perjalanan pun sampai di sebuah masjid yang katanya tidak jauh dari lokasi Goa tersebut.Kami beristirahat sejenak sambil melaksanakan ibadah sholat dhuhur. Tak lama kemudian, kami melanjutkan perjalanan sehingga kami sampai di tempat tujuan.

Kendaraan padat, kerumunan oran di mana-mana. Mungkin seperti itulah gambaran keadaan yang terjadi saat itu. memang sangat ramai suasana di sana. Dan kami tidak beruntung. tak ada lagi lahan parkir yang bisa kami tempati hingga kami menemukan sebuah gang yang sempit.Secara spontan, kami pun memakirkan 2 mobil yang kami bawa di sana. Keluar dari mobil, kami sedikit berfoto-foto di sana. Kami mencba mencari tempat untuk makan siang. tapi tak ada tempat yang cocok yang bisa kami tempati untuk makan. Dari kejauhan, nampak sekelompok warga yang terlihat memandangi kami. Awalnya kami mengira mereka akan mengusir kami karena telah parkir sembarangan. Mereka semakin mendekat dan ada seorang warga mendekat. Ternyata mereka menawarkan rumah mereka sebagai tempat beristirahat. Karena mereka tahu pasti kami merasa lelah sehingga butuh tempat beristirahat.Setelah beberapa saat dan dengan malu-malu, kami menerima tawaran mereka. walaupun sempat sungkan dan merepotkan. 

Di rumah tersebut, kami beristirahat, makan, dan mengobrol dengan sang tuan rumah. Kami diperlakukan layaknya kerabat dekat mereka. Padahal kami bukanlah siapa-siapa mereka. Kami baru pertama kali bertemu di sana. Dan yang membuatku terkesan adalah sifat mereka yang masih sangat ramah. Seakan-akan kami adalah kerabat dekat mereka yang sudah sangat sering bermain di sana. Kemudian, kami melanjutkan perjalanan kami ke Goa Pindul. Di sana sungainya sangat jernih.sehingga enjadikan suatu pemandangan tersendiri. Kami menyusuri tempat itu selama setengah jam. Lalu kami melanjutkan petualangan kami di Sungai Oyo. Pemandangan di sana seperti Great Canyon di Indonesia walaupun ukurannya jauh lebih kecil. Puas berjalan-jalan, kami kembali ke basecamp di rumah warga tadi. Di sna, senyuman hangat sang tuan rumah masih terpancar dari raut wajahnya. Hingga kami berpamitan untuk kembali ke habitat kami di Bantul.

Dari pengalamanku berekreasi di tempat itu, memang objek wisata di sana sangat mengasyikkan. Tapi bagiku, aa hal lain yang lebih menarik yang bisa dijadikan sebuah pelajaran berharga bagi kita semua dalam bermasyarakat. Di mana warga sana sangat terbuka dengan kedatangan orang asing yang belum pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka menerima, menjamu, dan memperlakukan orang asing itu seperti kerabat dekatnya sendiri yang tiap hari datang untuk menjenguknya. Hal lain yang sangat istimewa adalah mereka sama sekali tidak meminta timbal balik. Mereka tidak meminta uang sepeserpun. Mereka ikhlas menolong tanpa pamrih. Suatu keadaan yang sangat jarang kita temui dimana autis sosial sudah menjamur dimana-mana. Mungkin mereka memang orang di daerah terpencil yang akses menuju ke daerahnya saja masih relatif sulit. Namun dibalik kesulitan menembus terjalnya medan batu kapur tersebut terdapat sebuah harta yang sangat bernilai. Di mana ada sekelompok masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai gotong-royong yang seakan hampir punah di era globalisasi ini. 
 
;