Siang
itu begitu panas. Terik matahari sangat menyengat kulit, bahkan yang di bawah
kain sekalipun. Ayah, ibu, dan kakakku merasa hawa seperti neraka yang bocor.
Dua kipas angin kodok yang kita punya tidak mampu menangkal panasnya siang itu.
Keringat mengguyur keluargaku dari ujung rambut hingga kaki, yang membuat
pakaian basah kuyup. Mereka tak tahan panas itu, ayahku telanjang dada tidur di
atas ubin untuk mengeringkan tubuh. Apa yang keluargaku rasakan, berbeda yang
kurasakan. Aku merasa panas hari itu adalah dingin bagiku. Aku menggigil,
tubuhku menggulung dan bergetar, dingin, dingin sekali yang kurasa, hingga
kasur lantai yang aku baut tidur, ku ubah menjadi selimut tebal menangkal
dinginnya hawa. Ya saat itu aku terkena demam tinggi, tak tahu aku penyebabnya,
tiba-tiba itu muncul begitu saja dua hari terkahir. Ibuku heran bukan main, hawa begitu panas tapi
anaknya menggigil kedinginan. Ia akhirnya memanggil ayahku untuk membawaku ke
rumah sakit. Tapi ayahku menolaknya, ia begitu anti dengan sebuah tempat yang bernama ‘rumah
sakit’
.
‘Pak,
sebaiknya kita bawa Surya ke rumah sakit. Badannya panas, ia menggigil
kedinginan. Aku tak tahan melihatnya.’ Ibuku bicara dengan ayahku dengan penuh
kecemasan.
‘Alah,
jangan gegabah dulu. Baru tiga hari. Tanya anaknya mau apa enggak dibawa ke
rumah sakit.’ Dengan nada santai ayahku menjawab. Akhirnya
ibuku menghampirikku yang sedang mencoba tertidur menghilangkan rasa dingin.
‘Sur,
kerumah sakit po?’Tanya ibuku serambi memegang jidad besarku yang panas luar
biasa. Tanpa berfikir panjang aku menjawab
dengan satu kata ‘ya’. Ya karena aku tak tahan dengan keadaan seperti itu.
Ayahku yang anti ‘rumah sakit’, akhirnya mau mengantarkan aku dan ibuku ke
rumah sakit negara. Sepeda motor kecil dipakai oleh tiga orang, aku ada
ditengah mengenakan jaket tebal, dan penutup kepala. Sebuah tindakan yang tak
masuk akal, ditengah hawa yang panas bukan main. Orang-orang di traffic light melihatku dengan penuh
tanda tanya besar di kepala mereka, melihat pakaian yang aku kenakan. Tapi aku
membiarkannya, yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya biar aku sembuh dari
penyakit ini.
*******
Sesampainya di rumah sakit, aku dan ibuku turun, dan ayahku pergi begitu saja. Sebenarnya aku takut dengan rumah sakit, dengan jarumnya, stetoscop, apalagi bau khasnya yang mebuat aku ingin muntah. Tapi aku beranikan langkah untuk memasuki rumah sakit. Aku duduki kursi lobi, dan menunggu panggilan seorang suster yang keluar dari lorong poli anak. Satu jam aku menunggu, akhirnya seorang suster keluar dari lorong memanggil namaku sebanyak tiga kali. Tanpa basa basi aku masuki ruangan dokter. ‘Masuk dan tidur di kasur itu mas.’ Suruh dokter cantik setengah tua dengan nama Laras di seragam kerjanya. Tanpa menjawab aku langsung tidur. Kemudian dokter Laras masuk. Tak ada sepuluh menit memeriksaku, ia langsung keluar serambi menyuruhku bangun. Kemudian ia menulis resep pada secarik kertas kecil persegi empat dan memberikannya kepada ibuku yang dari tadi duduk dikursi tunggu periksa depan meja dokter.
‘Ini
bu resepnya, dapat ditebus di apotik rumah sakit.’ Ujar Bu Laras dengan
senyuman manis. Akhirnya
aku keluar dari ruang periksa menuju apotik rumah sakit, ketika beberapa
langkah keluar dari ruang itu, kepala ku menjadi pusing, mataku
berkunang-kunang. Aku sudah tidak tahan, melihat hal itu ibuku langsung menyuruh
duduk dan tidur di kursi tunggu depan poli. Kemudian ibuku pergi meninggalkanku
menuju apotik. Aku sendiri tidur di kursi tunggu depan lobi, banyak orang
melihatku, tapi aku biarkan saja. Dua jam menunggu dengan tidur, akhirnya ibuku
datang membawa satu tas kresek penuh dengan obat. Kemudian aku pulang ke rumah.
Sesampainya dirumah, segera aku
makan apa yang ada, aku makan semangka sisa dua hari lalu, yang ternyata sudah
basi dan ibuku lupa membuangnya. Tidak ada yang memperingatkanku. Kemudian aku
tidur pulas, meski badan malah semakin buruk sepulang dari rumah sakit.
*****
Satu minggu aku minum obat dari
rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh malah semakin memburuk. Pada malam hari
pukul sembilan, aku mengalami puncak kesaliktanku. Tubuhku panas tinggi, dan
aku menggil tanpa henti. Akhirnya aku dibawa kerumah sakit dan langsung dibawa
menuju ruang terang, dimana banyak suster dan dokter yang telah bersiaga
disana, namanya UGD. Baru Pertama
kali
aku masuk ruangan itu. Kemudian, stetoscop
dingin menyentuh dadaku yang panas. Dokter menyuruh suster memasang infus pada
tangan kananku. Selama satu jam di UGD, aku dikeluarkan menuju ruang inap. Dan
pertama kali
itu juga aku menginap di rumah sakit karena sakit. Pagi sudah datang, tapi aku
belum membaik, kupaksakan untuk bangun, ketika membuka mata telah berjajar
keluarga besarku datang menjengukku. Aku merasa malu, karena menjadi beban keluarga.
Tapi daripada mati lebih baik aku
malu, karena masih banyak impian yang belum aku capai. Keluargaku selalu
menyemangatiku agar aku lekas sembuh. Mereka membawa apapun yang mereka bisa
bawa. Padahal waktu itu aku belum boleh makan apapun karena diagnosa dokter
belum keluar.
Dua hari kemudian, diagnosa dokter keluar,
aku mengidap penyakit tifus stadium atas. Dokter berkata jika dua hari tidak di
bawa ke rumah sakit, maka nyawa anak ini pun tak akan memasuki tubuhnya.
Diagnosa keluar berubahlah kebiasaan ku semua. Aku tidak boleh makan apapun,
jika aku salah makan maka nyawa pun melayang. Aku hanya boleh makan makanan
dari rumah sakit tidak boleh dari luar. Padahal makanan rumah sakit adalah
makanan yang paling tidak enak yang pernah aku makan. Hambar, nasi berbentuk
setengah bubur setengah nasi, lauknya hanya itu-itu saja, membosankan. Hal itu
sama saja membunuhku secara perlahan. Setiap makanan yang diberikan dari rumah
sakit tak pernah aku makan, mungkin hanya lima atau sepuluh sendok makan, lalu
aku suruh habiskan ibuku yang selalu menemaniku.
Kebiasaanku itulah yang
membuatku semakin kritis, tubuhku drop, suhu tubuh tinggi lagi, mukaku pucat
dan tubuhku lemas seperti orang yang tinggal beberapa menit lagi akan
meninggal. aku tak tahan kemudian pingsan. Dalam keadaan itulah ibuku khawatir
dan memanggil dokter. Ketika aku dalam keadaan mata terpejam, datanglah sesosok
lelaki tinggi, berkulit putih dan berjubah putih. Ia tersenyum padaku,
senyumannya sungguh manis, seperti senyuman orang suci. Ia mendekatiku memberi
senyuman, dan membelai rambutku. Ia menarik nafas pelan dan berkata. ‘Allah
masih memberimu kesempatan untukmu nak, aku tak dapat membawamu pergi sekarang.
Allah masih ingin melihat kau menggapai impianmu,sekarang bangunlah bangunlah
temui ibumu yang bertasbih meminta kemurahan-Nya. Ayo bangunlah..’ serunya
padaku. Lalu ia pergi beberapa langkah dan hilang.
Dia pergi dan aku bangun dari pangglan Tuahn
sekejap itu. Aku membuka mata. Pembukaan mataku mengubah kecemasan menjadi
tarikan bibir manis ibuku. Dokter Laras tersenyum. Ia menuyuruhku banyak hal
dan mendukungku agar tetap hidup. Akhirya yang ibuku dan Dokter Laras katakan
selalu kulakukan. Aku makan sebanyak-banyaknya meski lidah tak bisa merasa. Aku
lakukan ibadah solat lima waktu dengan berbaring di atas kasur. Setiap gerakan
solat kusisipi doa. ‘Ya Allah, Ya Rabb, berikan kemurahan-Mu padaku. Berikan aku kesempatan kedua
untuk membenhi hidup.’ Pinta ku pada Tuhan.
Aku
ucapkan kalimat itu, setiap hari, sebagai ungkapan sesal dan tebusan dosa hidupku.
Satu
minggu aku di rumah sakit, dan melakukan apa
yang disarankan, akhirnya aku membaik. Aku ingin pulang, dalam benakku yang aku
inginkan segera menyantap nasi goreng Bu Manto, tetanggaku yang super lezat.
Ibuku menemui dokter untuk meminta izin keluar. Tapi Dokter Laras menolak, aku
harus tinggal di tempat ini satu minggu lagi.
Satu minggu adalah waktu yang lama bagiku, seperti satu tahun jika di penjara
ini. Aku tetap memaksa ibuku merayu dokter agar aku keluar dari tempat
ini. Dengan berbagai cara ibuku lakukan,
akhirnya Dokter Laras menyetujui dengan satu syarat aku tak boleh bergerak
selama tiga bulan, dan hanya terbaring di tempat tidur saja. Aku mnyetujuinya
akhirnya aku pulang dari neraka ini.
****
Tiga bulan aku terbaring di ranjang.
Rasanya seperti orang terkena stroke.
Pagi, siang, sore, malam selama tiga bulan aku hanya memandangi tempat yang
sama, yaitu kamarku. Aku tak bisa memandang udara dan pemandangan luar yang
indah. Tidak bisa merasakan belaian hangat sinar matahari langsung hanya
belaian lampu neon 5 watt. Aku tidak bisa tertawa bersama teman, hanya tv kecil hitam putih
yang menemaniku. Berak, kencing mandi jadi satu tempat. Ah keadaan ini aku
syukuri daripada aku tinggal dirumah sakit yang meropotkan banyak orang.
Pada akhirnya, awal tahun ajaran baru sekolah aku
berangkat menemui teman sekelas yang telah lama menunggu kedatanganku. Aku bermain,
tertawa, bercanda, sedih, senang bersama teman lagi. Senang sekali rasanya
menikmati hidup sehat, menikmati indahnya dunia ini, melihat luasnya alam ini.
Rantai kematian yang membelengguku selama berbulan-bulan akhirnya lepas.
Karunia Tuhan telah menyertaiku dalam hidup ini.
****
Kebahagiaanku kemudian sirna, dalam
akhir sekolahku kelas enam, selang satu tahun pelepasan kematian. Datang lagi
kematian menghampiriku. Dari gigitan satu hewan bernama aydes aygeypty, telah membawaku dalam ujung ajalku kembali. Diawali
dengan demam yang tinggi secara
mendadak. Dua hari kemudian, bercak-bercak merah muncul satu per satu memenuhi
tubuhku. Aku tak tahu kalau itu adalah gejala penyakit demam berdarah, yang
banyak merenggut anak-anak di Indonesia. Aku kira hanya penyakit biasa, jadi
aku biarkan saja. Hingga satu minggu, baru aku tak tahan, bercak semakin merah
merekah, suhu badan semakin tinggi. Kemudian aku dibwa menuju rumah sakit, di
siang hari. Hanya diperiksa sebentar, dokter langsung mengatakan dua kata yang
membuatku kaget luar bisa, “opname bu”. Opname lagi, dalam hati aku
mengatakannya. Siang hari jarang pasien dirawat inap, mungkin hanya diperiksa
saja, tapi ini langsung diopname, mungkin parah sekali sakitku ini, gumamku.
Satu hari kemudian, diagnosa dokter
keluar. Masih sama, Dokter Laras yang menanganiku. ‘Tuhan
masih memberi kesempatan untuk anak ibu. Jika turun 5 angka trombosit anak ibu.
Anak ibu tidak bisa menikmati dunia ini lagi. Bersyukurlah ibu.’ Katanya kepada
ibuku.
Aku mendengar percakapan itu, sangat bersyukur
sekali. Tuhan masih memberi aku kesempatan hidup lagi. Dua hari keadaanku
membaik seperti orang sehat. Tapi ternyata itulah fase kritis. Ketika aku
tidur, datang lagi pria suci itu, dengan seyuman manis dan dihaiasi sinar-sinar
terang. ‘Nak, sepertinya aku akan membawamu sekarang menuju keabadian. Aku merasa
kasihan melihat kau tersiksa seperti ini.’ Serunya pada nyawuku. Aku tidak akan putus asa. Impian dan tujuan hidup belum ku capai. Tolong
bicarakan keputusan ini pada Tuhan sekali lagi. Sampaikan pesanku kepada Tuhan
bahwa aku masih ingin hidup masih ingin mengabdi
pada Tuhan.’ Jawabku. Lalu
ia tersenyum manis, memejamkan mata sejejnak sebagai tanda ucapan
‘ya’ untuk menjawab permintaanku. Ia
lalu pergi dengan langakah pelan. Kemudian
aku terbangun. Tubuhku panas 38 derajat, perawat yang
dipanggil ibuku kemudian datang.
‘alhamdulillah
bu, anaknya sudah panas.’ jawabnya serambi tangannya memegang jidadku.
‘kok alhamdulillah
mas?’Tanya ibuku heran, dengan dahi mengkerut.
‘iya.
Anak ibu sudah melalui masa kritis, sekarang melalui masa penyembuhan.’
Jawabnya dengan tersenyum.
Aku
mendengarnya sagat senang sekali seperti aku mendapat hadiah rumah mewah
kawasan elit. Tapi
ini lebih kareana Tuhan menghadiahkanku nyawa ketiga kalinya. Tuhan telah
berbaik hati, terimakasih Tuhan. Empat hari setelah aku melewati fase kritis.aku
diperbolehkan pulang. Pulang sama halnya sehat, sebuah anugrah yang luar biasa
yang aku dapatkan dari Tuhan. Kado yang sangat luar biasa, yang mungkin tidak
banyakorang memperolehnya. Tuahn telah menghidupkan tubuhku ini melalu kasih
syang-Nya dan kemurahan-Nya. Aku dapat melihat lagi hijaunya daun, birunya laut dan awan,
hitamnya malam, hangatnya belaian mentari, dan merasakan banyak lagi karunia
Tuhan. Aku sekarang dapat tertawa bersama keluarga dan teman.
Inilah hidupku ketiga, yang harus aku lalui
dengan kegiatan yang baik dan bermanfaat, untuk menebus dosaku pada Tuhan.Terimakasih
Tuhan Ya Rabb, Engkau berikan anugerah
terbesar dalam hidupku ini.
Janganlah
kalian putus asa, takdir dapat kita rubah selagi kita bekerja keras untuk
merubahnya.Tuhan tidak akan merubah takdir kita, selagi kita merubah takdir
kita sendiri. Semangat!
Oleh :
-Surya Jatmika-